Cari Blog Ini

13 Juli 2017

Hari Kependudukan Dunia 2017: Masa Depan Demografi Indonesia Dan Keseimbangan Pertumbuhan Penduduk



Jakarta (11/7) – Memperingati Hari Kependudukan Dunia 2017 yang jatuh pada 11 Juli setiap tahunnya, Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan Diskusi Hari Kependudukan 2017 yang mengangkat tema “Demografi Indonesia: Masa Depan yang Diinginkan” di Gedung Bappenas, Selasa pagi. Diskusi dihadiri United Nations Population Fund (UNFPA), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, serta para pemangku kepentingan lainnya. Diskusi diharapkan dapat membahas perkembangan kependudukan untuk mencari terobosan dan inovasi kebijakan dari para pemangku kepentingan agar sumber daya manusia Indonesia dapat berkontribusi secara optimal dalam perekonomian. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, Indonesia perlu menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk di masa mendatang. “Pemerintah perlu strategi khusus dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk, mengingat tren penurunan penduduk dan aging population di masa mendatang dapat memengaruhi keseimbangan fiskal negara,” ujarnya.
 
Saat ini, kondisi kependudukan antar provinsi di Indonesia sangat bervariasi. Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) per wanita usia subur (15-49 tahun) di sebagian provinsi, meliputi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Sumatera Utara, masih menyentuh angka cukup tinggi, yakni di atas 2,5. Sementara, di beberapa provinsi lainnya seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, TFR telah mencapai angka yang cukup rendah, yaitu di bawah 2. Pada 2015, Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik mencatat angka 2,28. Pada 2017, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memproyeksikan skenario medium penurunan TFR, yakni hingga hanya 2 anak atau kurang pada 2035. Pada saat yang sama, jumlah penduduk akan menembus 300 juta orang dan Indonesia masih berpredikat negara dengan jumlah penduduk terbesar urutan keempat di dunia. TFR, jika terus menurun, akan mencapai angka yang cukup rendah sehingga jumlah penduduk menurun di masa aging population, yakni periode 2055-2065.
 
“Terkait menurunnya TFR tersebut, perlu ada pendekatan yang baru dalam menyadarkan masyarakat tentang pentingnya jumlah dan kualitas anak yang tepat,”ungkap Menteri Bambang. Selain TFR, tingkat kesehatan masyarakat juga menjadi hal penting dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk karena sangat berpengaruh terhadap angka kematian, terutama Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rates/IMR) dan secara jangka panjang akan meningkatkan Angka Harapan Hidup. PBB mengambil asumsi penurunan IMR terjadi dengan kisaran penurunan sebesar dua persen setiap tahunnya, atau lebih cepat dari tren yang selama ini terjadi. Hal ini menjadikan posisi Indonesia relatif lebih dekat dengan Filipina dalam insiden kematian bayi untuk setiap 1000 kelahiran hidup yaitu sekitar 14 pada 2030.
 
Mengantisipasi Peluang Bonus Demografi
Penurunan TFR yang terjadi setelah pengenalan program Keluarga Berencana pada 1970-an membuat Indonesia saat ini berada pada tahap terbukanya jendela kesempatan (windows of opportunity), yakni kondisi di mana rasio ketergantungan penduduk Indonesia terus berkurang dan menuju pada titik terendah yang menurut perhitungan akan terjadi pada 2020-2030 (UNFPA, 2015). Sebagai ilustrasi, pada 2015, SUPAS merilis angka ketergantungan penduduk Indonesia sebesar 49,2 yang artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung beban sebanyak sekitar 49 penduduk usia nonproduktif. Pada 2020-2030 mendatang, kondisi tersebut akan memunculkan bonus demografi, yaitu peluang yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif (usia kurang dari 15 tahun dan di atas 65 tahun).

Dengan persiapan yang baik, bonus demografi bisa dimanfaatkan agar berdampak luas secara jangka panjang untuk pertumbuhan ekonomi. Namun sebaliknya, jika tanpa strategi yang matang, bonus demografi dapat berdampak negatif bagi Indonesia. Agar dapat memetik manfaat bonus demografi pada 2020-2030, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah, di antaranya meningkatkan kualitas sumber daya manusia usia produktif sehingga memiliki keterampilan kerja yang sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja. Selain itu, perluasan lapangan kerja, salah satunya dengan meningkatkan investasi, juga penting untuk menyerap tenaga kerja terampil tersebut. Idealnya, bonus demografi dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang memicu pada peningkatan konsumsi maupun pertumbuhan investasi atau tabungan.
 
Lebih jauh, jika dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi dapat mengurangi tingkat ketergantungan, mendorong produktivitas, dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Saat TFR menurun, pertumbuhan pendapatan per kapita untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia anak-anak dapat dialihkan untuk peningkatan mutu sumber daya manusia. Oleh karena itu, penduduk usia produktif harus mampu menjadi mesin pertumbuhan, dan bukan menjadi beban ekonomi. Dengan demikian, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan agar penduduk produktif mempunyai kompetensi dan keahlian. Kemudian, soft skills juga harus ditingkatkan agar tenaga kerja memiliki sikap yang positif, optimistis, kreatif, dan bersedia maju. Kebijakan sumber daya manusia, kependudukan, kesehatan, pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, infrastruktur dan sumber daya alam serta politik hukum dan keamanan juga harus diarahkan dengan tepat. “Pemerintah ingin menekankan improvisasi kebijakan yang terpadu antar kementerian/lembaga dan pihak terkait lainnya dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk, mengantisipasi perubahan struktur penduduk, dan optimalisasi bonus demografi,” tutup Menteri Bambang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Entri yang Diunggulkan

MERDEKA MENGAJAR